Tuesday 27 January 2015

Pabbangkung : Tragedi 45 tahun silam

Di tepi sungai Walanae, di kampung Walimpong. Seribuan orang terburu-buru menuju rae-rae (rakit) yang sudah mereka persiapkan. Wajah mereka diliputi kekhawatiran dan rasa takut yang mencekam. Anak-anak dituntun setengah berlari oleh ibu, bapak, atau kakak-kakak mereka.
Sementara itu, pasukan Gurilla bersiap siaga. Ada berita Tentara RI sedang menuju kemari dalam jumlah besar. Biasanya, kedatangan tentara ke wanua Barae berarti pembakaran rumah penduduk berikut seluruh sarana fisik kampung. Jadi, himbauan untuk mengungsi adalah pilihan paling mungkin dilakukan.
Peristiwa tahun 1963 itu menandai puncak
pengungsian orang-orang Barae yang terdiri dari beberapa kampung. Pagi itu, ratusan rae bergerak perlahan mengikuti arus sungai ke arah Danau Tempe, kabupaten Wajo. Tapi mereka tak hendak menuju ke sana. Umumnya, pengungsi yang diliputi ketakutan ini dan membawa milik mereka secukupnya akan menuju Bakunge, tepi sungai Walanaesekitar 2 km dari Pacongkang atau 20 km dari Takkalalla.
Sementara itu, kampung-kampung di wilayah Soga, sebagiannya memilih jalan darat dan tak bergerak serempak. Arus pengungsian sebenarnya sudah berlangsung sejak akhir tahun 1950-an, saat keamanan tidak terkendali oleh aktifitas bandit lokal, Pabbangkung.
***
Hari menjelang siang di Kampung Coppeng-Coppeng, Kabupaten Soppeng. Saat itu tepat hari Senin tanggal 31 Oktober 1960 di rumah La Salaming naik sekelompok orang yang menamakan diri Pabbangkung.
Di atas rumah panggung itu, La Mara pemimpin Pabbangkung asal Segeri (Pangkep) menarik paksa putri Salaming yang bernama I Hawiyah. Tak disangka oleh gerombolan Pabbangkung ini, La Salaming melakukan penolakan. Ia tidak mau anak gadisnya dibawa begitu saja.
Kegaduhan terjadi. Salah seorang anggota gerombolan itu menembakkan ballili (senjata api) satu-satunya yang mereka miliki selain ratusan bangkung (golok; parang) yang dibawa saat itu.
Mendengar suara tembakan itu, tetangga-tetangga terdekat Salaming malah bersiaga dan mulai berkerumun. Bukan hanya para lelaki mendekat dengan bangkung mereka masing-masing, tetapi juga perempuan-perempuan mendekat dengan senjata tajam jenis apa saja, badik, bangkung atau kayu bakar sekalipun. Beberapa dari mereka bahkan menggenggam sebilah tombak.
Suasana begitu tegang. Tak lama, dalam hitungan detik saja Salaming mengamuk dan membuat kaget para penculik di atas rumahnya.
Warga Coppeng-Coppeng yang turut marah dengan perilaku Pabbangkung ini turut mengamuk. Kegaduhan segera membahana. Saling bacok terjadi di sekitar mesjid. Ballili yang digenggam itu tak sempat lagi ditembakkan. Malah sebaliknya, seorang anggota Gurilla (anggota gerilyawan DI/TII Qahhar Mudzakkar) yang juga warga Coppeng-Coppeng berusaha merebut ballili itu dan menembakkannya kearah gerombolan Pabbangkung yang berjumlah 70-an orang. Akibatnya, nyali para Pabbangkung ini ciut dan malah kocar-kacir.
Malang bagi Mara, ia justru kena tusukan tombak milik salah seorang warga di dadanya. Dalam keadaan terdesak karena amukan warga, para anggota Pabbangkung ini lari tunggang langgang. Walau tak ada yang mati, beberapa mengalami luka parah dan lari sebisa mereka lari.
Akhirnya upaya La Mara dan kawan-kawannya menuai kegagalan. Tak biasanya mereka gagal. Di tempat lain, biasanya hanya dengan meledakkan ballili yang mereka andalkan, warga sudah lari ketakutan dan tak mampu melawan sama sekali. Dalam keadaan ketakutan warga akan memberikan apa saja yang diminta oleh para Pabbangkung ini. Wanita sekalipun atau bahkan nyawa sekalipun.
Kegaduhan mereda.
Para pengacau ini tak dikejar sama sekali. Warga malah berkumpul dan to matoa Coppeng-Coppeng segera meminta para warga bersiap-siap menghadapi serangan balasan. Sejak hari itu, beberapa orang ditugaskan untuk memesan bangkung khusus di Citta, perbatasan Soppeng - Bone (dua jam perjalanan dari Coppeng-Coppeng). Sekira 60an bangkung dibuat. Parang itu berkisar 80 cm panjangnya dengan gagang berwarna hitam yang kokoh.
Jaga malampun diberlakukan.
Setiap lelaki bergantian satu sama lain menjaga kampung dari kemungkinan kedatangan kembali La Mara dan kawan-kawannya yang mungkin marah dan hendak membalas dendam.
Berita perlawanan warga Coppeng-Coppeng ini dengan pesat tersebar ke telinga warga-warga kampung disekitarnya. Perlawanan itu lalu menjadi semangat menggebu-gebu bagi warga kampung lainnya. Akibatnya semua kampung dalam keadaan siaga. Untunglah, La Mara tak pernah lagi datang. Malah sebaliknya, kelompok ini perlahan-lahan menghilang dan entah kemana semua anggotanya. Setidaknya, sejak saat itu. Kampung tak lagi direcoki oleh aktifitas Pabbangkung yang dipimpin oleh La mara.
***
Cerita tentang Pabbangkung ini, hingga kini masih meninggalkan kesan suram bagi banyak warga di kabupaten Soppeng dan Bone, khususnya di desa-desa di kecamatan Marioriwawo ini. Beberapa perbincangan dengan orang-orang tua, khususnya perempuan. Menyebut kata Pabbangkung saja mereka kerap berkata semoga peristiwa semacam itu tak lagi berulang. Anak-anak yang lahir belakangan patut bersyukur keadaan sekarang sangat aman dan kehidupan mereka jauh lebih tenang.
Saat penelusuran kelompok ini, tak ada informan yang bisa memberi keterangan pasti bagaimana kelompok Pabbangkung ini berdiri di Soppeng. Hanya saja, aktifitasnya marak bersamaan dengan aktifitas Gurilla di wilayah Soppeng dan Bone. Salah seorang pimpinannya yang paling ditakuti adalah Janggo Ribi atau biasa juga disebut Pance Ribi asal dari Ajangale, kabupaten Bone. Ada juga informan menyebutnya dari kampung Mutiara atau Amessangeng.
Dari namanya, maka ia adalah orang yang berjanggut dan bertubuh pendek. Janggo dan Pance dalam bahasa Bugis berarti janggut dan pendek. Ia juga kerap digelari to masegge atau to warani (pemberani). Keberaniannya itulah yang membuat ia memiliki banyak pengikut dan beberapa pengikutnya membentuk kelompok tersendiri dengan wilayah operasi yang berbeda satu sama lain, contohnya kelompok La Mara di kampung Soga dan La Nasing di kampung Bunne di Soppeng.
Kelompok yang dipimpin langsung Janggo Ribi sendiri beroperasi di wilayah Bone. Ia memiliki masalah pribadi dengan seorang Gurilla di sana, yakni I Coddoe atau yang kerap juga disapa Ambo Balobo.
Di masa lalu, kedua orang tua to warani ini punya masalah pribadi. Menurut kabar, keduanya pernah berkelahi yang menyebabkan salah satunya mati ditikam. Tak jelas siapa membunuh siapa. Namun sepertinya salah satu dari mereka, entah Janggo Ribi atau I Coddoe begitu dendamnya dan melanjutkan perseteruan itu. Itulah mengapa Janggo Ribi dan kelompoknya beroperasi di Bone dengan harapan bisa berseteru dengan Gurilla.
Mengenai nama Pabbangkung, hal itu merujuk pada ciri khas anggotanya yang bersenjatakan bangkung atau golok untuk mengancam korbannya atau bahkan membunuhnya. Di satu sisi, menurut keterangan kepala desa Barae yang didengarnya dari salah satu bekas anggota, bahwa Pabbangkung sendiri adalah pasukan berani mati yang berjuang di masa revolusi fisik.
Informasi ini senada dengan aadanya anggapan pada masa itu bahwa Pabbangkung ini berafiliasi dengan perjuangan APRA yang merupakan tentara republik pimpinan Alex Kawilarang yang ditugaskan untuk menumpas pemberontakan Andi Azis pada 1950.
Cerita mengenai asal usulnya boleh jadi masih kabur. Namun aktifitasnya yang meresahkan warga benar-benar nyata.
***
Di suatu siang awal 1962, di rumah Abdul Wahid (La Wahe) yang masih berusia 4 tahun, naik sekelompok Pabbangkung yang dipimpin La Nasing. Nasing meminta bapaknya La Wahe, La Sakka agar meminta uang ke orang-orang Bunne. Bila tidak mau maka ia akan dibunuh. Karena tak ingin melakukan tugas yang berat itu, Nasing sekonyong-konyong menikam La Sakka dan kakak tertuanya yang berusaha melawan.
Beruntung Wahe masih kecil sehingga ia luput dari kekejaman Nasing.
Siang itu, 1 Mei 2011, diusianya yang sudah senja, ia menuturkan kisah itu saat kami santap malam di rumah panggunggnya. Ia tak mungkin melupakan peristiwa itu. Tapi ia juga tak ingin menaruh dendam lalu menuntut balas kepada Nasing. Ia biarkan Nasing menikmati kebebasannya walau pada awalnya ia teramat takut pada Wahe bila sewaktu-waktu balas menikamnya. Ia tertawa lepas saat mengucapkan kalimat itu. Seolah membayangkan Nasing yang ketakutan setiap bertemu dirinya. Mungkin karena dihantui rasa takut, Nasing akhirnya pindah ke Kolaka dan menurut kabar dari seorang kawannya, di desa Barae, Nasing meninggal tiga tahun lalu (2008) di sana.
Wahe sendiri, menikah pada usia 14 tahun dengan Rosdiana (I Rose) anak dari pasangan La Sumpung dan Idauna. Kini ia tinggal di dusun Tonronge. Dua anak perempuannya, Ernawati Wahid (lahir 1978) dan Rezkiwati Wahid (lahir 1991). Keduanya telah menikah. Ernawati yang kini bidan di puskesmas Maccope, kecamatan Mario Rilau memiliki 3 anak, di mana seorang diantaranya, Umrah, tinggal bersama kakek dan neneknya di dusun Tonronge. Sementara Rezkiwati baru dua tahun lalu menikah dengan Amir dan memilih tinggal bersama ibu dan ayahnya di Tonronge. Ia tak ingin ibunya sepi tanpa kehadiran anaknya[].

No comments:

Post a Comment