Tuesday 27 January 2015

Calabai (Waria) dalam konteks masyarakat Bugis

“Calabai” Bukan “Bissu”
Engkana sewwa wettu ulawo jokka-jokka
Riwiringna tasi’e losari’o asengna
Engka anadara tudang ale-ale
Cawa-cawa caberu mangolo riaaleku
Ula’o madeperi masirimma nataro
Calabairo pale wasenggi anadara

(Pada suatu waktu, aku pergi berjalan-jalan
Dipinggir pantai yang namanya Losari
Ada seorang gadis duduk seorang diri
Tertawa tersipu-sipu kepadaku
Akupun segera pergi mendekatinya
yang membuatku sangat malu
Ternyata “Calabai”, kusangka gadis)

Ketika itu di awal tahun 90-an, alunan lagu diatas sangat populer, disenangi oleh setiap lapisan masyarakat, orang tua, anak-anak, laki-laki dan perempuan untuk kalangan orang Bugis di Soppeng. Bagi kalangan terbatas,terutama anak-anak sebayaku
bahkan seringkali sangat ekspresif jika menyanyikan lagu itu, sehingga beberapa kali pihak kerabat yang lebih tua menegur, memarahi serta menasehati agar kami tidak menyanyikan lagu itu dengan ekspresi yang terlalu berlebihan. Ekspresi yang terlalu berlebihan, apakah dengan tersenyum sinis atau tertawa yang keras kerapkali dianggap sebagai sesuatu yang kurang wajar, tidak manusiawi atau melecehkan kemanusiaan calabai yang menjadi tokoh dalam lagu itu. Sebenarnya kekhawatiran itu hinggap dibenak setiap orang Bugis dewasa, jika ekspresi terhadap tokoh imajiner yang ada dalam lagu itu kemudian di kontekskan dan diartikulasikan ke dalam kehidupan nyata calabai yang merupakan bagian dari kebudayaan Bugis.
Lirik lagu tersebut bercerita tentang seorang pria tulen (asli) yang tertipu oleh pria palsu=seorang calabai ketika ia sedang berjalan-jalan di pantai Losari Makassar yang intinya menunjukkan kelucuan, kesalahpahaman dan kebodohan seorang pria yang terjebak oleh penampilan fisik (tubuh) dari seorang “Calabai”. Dalam masyarakat Bugis di Soppeng Calabai adalah panggilan kepada seorang pria biologis (biological males) yang memiliki figur seperti perempuan (feminin) atau Waria[2] (wanita pria).

 Pada masa itu sampai sekarang Calabai bagi sebagian orang bugis menjadi persoalan yang demikian berarti karena menunjukkan sesuatu yang tak lazim, aneh dan unik.
Peristiwa yang telah diceritakan dalam lagu tersebut mengindikasikan bagaimana kehadiran Calabai menjadi sesuatu persoalan yang menyangkut tubuh secara fisik. Kelucuan, kesalahpahaman dan kebodohan yang dilakukan oleh tokoh sekaligus penyanyi[3] dengan menceritakan pengalamannya lewat lagu, terperangkap oleh simbol-simbol feminin yang melekat pada jenis kelamin pria, hal itu kemudian menjadi wacana publik yang menarik karena tidak lazim, lucu, menggelitik akal sehat sehinga lagu tersebut menjadi populer. Ula’o madeperi masirimma nataro (Akupun pergi mendekatinya yang membuatku sangat malu) adalah inti dari pesan lagu tersebut yang menceritakan tokoh laki-laki yang mengalami kesialan karena tertipu oleh penampilan fisik (luar) calabai, yang juga sebenarnya merupakan pesan bijak dan “warning” agar setiap orang berhati-hati jangan sampai melakukan hal serupa.

Ketika lagu itu dinyanyikan oleh anak-anak sebayaku, hal itu kemudian menjadi ironi dan parodi, sebuah bentuk kelucuan, keisengan akan diekspresikan dengan tersenyum sinis atau dengan tertawa yang keras, karena menyanyikan lagu itu seolah-olah kita juga ikut melakukan “kebodohan-kebodohan” itu. Adalah hal yang benar-benar merisaukan karena peristiwa serupa bisa saja dialami oleh setiap orang Bugis di manapun di wilayah Bugis karena fenomena calabai telah menjadi bagian dari kehidupan kesehariaannya sehingga apabila tidak cermat dan teliti boleh jadi setiap saat, siapapun di antara kita dapat melakukan kebodohan-kebodohan serupa. Tidak hanya sampai di situ, dramatisasipun masih terus berlanjut bukan hanya mulai dari warna khsusus, nuansa indah dan nada khas dari lagu itu tetapi telah direformulasi serta ditransformasikan dalam kehidupan nyata calabai. Artinya lagu ini memberikan konsep baru dan makna sekunder yang akan menjadi referensi pemaknaan bagi orang Bugis terhadap identitas calabai. Dengan demikian serpihan peristiwa di masa lalu yang diceritakan dalam lagu di atas tentang penomena calabai menunjukkan bahwa dalam konteks masyarakat Bugis dahulu dan sekarang, hal itu telah menjadi bagian yang terus menggeliat dalam keseharian kehidupannya.

Sekitar satu dekade berikutnya, di tempat yang berbeda dalam skala yang lebih nasional, salah satu kelompok musik di Indonesia yaitu Naif, di salah satu hitsnya yang berjudul posesif menjadikan waria yang biasa dipanggil Avi[4] sebagai model dalam video klipnya, hal ini merupakan perkembangan baru dalam kehidupan berbangsa, di mana sosok waria di tampilkan[5] (diakui) secara terbatas di media massa untuk dikomsumsi oleh seluruh masyarakat Indonesia. Selanjutya awal 2005, giliran Projet POP dengan albumnya pop circus mengeluarkan hitsnya dengan judul jangan ganggu banci yang menceritakan tentang keluh kesah seorang banci dalam menjalani hidupnya. Hal ini merupakan perkembangan spektakuler dalam dunia musik Indonesia dimana sosok waria di tampilkan secara lebih utuh melalui lirik lagu serta video kilp yang secara keseluruhan menampilkan figur waria. Akhirnya beberapa rentetan mengenai representasi figur waria di industri hiburan (musik) dapat di jadikan indikator bagaimana pemahaman masyarakat tentang kehidupan ”aneh” kaum waria selalu mengalami kontestasi dan perubahan.

Demikian halnya juga yang terjadi di salah satu daerah di bagian timur, di tempat yang sangat jauh disudut pikiran bagi sebagian besar orang Indonesia, karena daerah ini tidaklah sepopuler daerah-daerah lainnya yaitu Soppeng yang merupakan salah satu daerah kecil yang didiami oleh orang bugis. Istilah Calabai berbeda dengan Waria, calabai lebih merupakan identitas yang mengambang (Floating Identity) atau identitas setengah jadi di bawah bayang-bayang Bissu. Calabai merujuk pada sentimen sosial terhadap suatu karakteristik hidup dari salah satu kaum homoseksual di Soppeng. Menurut Latief (dalam Srinthil, 2003: 43) orang Bugis memiliki klasifikasi sendiri tentang Calabai yang memiliki tiga tingkatan yaitu: Calabai tengkena lino, Paccalabai, dan Calabai Kedo-Kedonami[6]. Namun keberatan penulis mengenai klasifikasi yang dibuat oleh Latief yaitu tidak adanya penjelasan mengenai nuansa, dimensi dan cita rasa istilah Calabai di kehidupan praxis orang Bugis dan bagaimana proses istilah itu sehingga menjadi wacana umum pada masyarakat Bugis secara keseluruhan, kadang-kadang konsep Calabai menjadi kabur pengertiannya karena seolah-olah calabai merupakan identitas mutlak yang harus di lewati sesorang sebelum menjadi Bissu. Padahal calabai dalam konteks sekarang perlu mengalami redefenisi karena faktanya globalisasi telah mengubah keseluruhan tata nilai yang ada dalam masyarakat. Jika mengikuti penjelasan Latief maka calabai lebih merupakan prakondisi sesorang sebelum menjadi Bissu, sehingga calabai sebagai identitas yang “nyata” tidak mendapat perhatian.

[1] lagu ini berjudul “Calabai”dinyayikan oleh Tajjudin Nur.
[2] Istilah Waria lebih umum digunakan di Indonesia ketimbang Banci, Wadam, dan Bencong, tetapi penulis lebih memilih istilah lokal yang digunakan masyarakat Bugis yaitu Calabai, dengan keyakinan bahwa konsep calabai memiliki nuansa, warna khusus, nada khas dan dimensi tersendiri yang bersifat partikular bukan generalisasi dengan menggunakan konsep yang lebih umum seperti waria.
[3] Karena lagu diatas bercerita tentang pengalaman penyanyi yang diekspresikan melalui lagu.
[4] Avi telah meninggal dunia beberapa tahun kemudian akibat penyakit yang dideritanya dan di makamkan sebagai “Joko” (sebagai laki-laki).
[5] Maksudnya bahwa pengakuan secara terbatas yaitu: terjadinya pergeseran dari wacana umum yang selama ini direpresetasekan oleh media di mana sosok waria cenderung hanya dijadikan objek hiburan yang seringkali dianggap sebagai bahan lelucon atau sesuatu yang lucu saja, tidak lebih dari itu.
[6] Calabai tengkena lino yaitu orang yang berhak menyandang dan menamakan dirinya Bissu, Paccalabai yaitu kalangan remaja yang bisa berhubungan dengan pria dan wanita, Calabai Kedo-Kedonami pria tulen yang bergaya seperti perempuan

No comments:

Post a Comment