Tuesday 27 January 2015

Jurnal Penelitian : Pangan, Makkuleleng, dan Komoditas


Bagaimana pasang-surut komoditas di sebuah desa di Sulawesi Selatan sampai mempengaruhi kerja-kerja kolektif warga?

JAGUNG dalam bahasa Bugis barelle. Warga Soga lebih sering meringkasnya menjadi relle. Warga desa di Kabupaten Soppeng ini menyebut dua jenis jagung yang dulu mereka tanam menjadi relle pulu dan relle sio. Keduanya menjadi bagian penting kehidupan warga desa di Kabupaten Soppeng ini sebelum kemerdekaan sampai awal dasawarsa 90-an.

Jagung menjadi makanan pokok Soga selain beras. Beras hanya bisa didapat dengan menjadi buruh panen karena Soga tak berlahan persawahan. Lahan milik warga Soga adanya segelintir di luar desa. Dengan teknik sederhana, pendapatan beras warga tidak seberapa.



Kala itu, makanan pokok warga ada tiga macam: nanre bere’ (nasi beras), nanre relle (nasi jagung), dan nanre pule’ (nasi dari campuran jagung dan beras). Warga memasak nasi beras pada waktu-waktu khusus dan acara penting seperti menjamu undangan dalam pesta adat. Di hari biasa warga lebih sering makan nasi jagung dan sesekali diselingi nasi beras campur jagung.

Ketika teknik panen padi meningkat, pasokan beras pun bertambah, bahkan kadang cukup sampai panen musim berikutnya. Jumlah konsumsi jagung akhirnya berkurang. Warga lalu memilih beras ketimbang jagung. Lalu entah dari mana sampai warga menganggap jagung sebagai kelas rendahan. Yang jelas, kian banyak jagung yang bisa dijual untuk tabungan keperluan lain. Perlahan jagung bergeser dari tanaman pangan (subsistem) menjadi tanaman ekonomi (komoditas).

Peralihan ini tidak bertahan lama. Nilai jualnya rendah membuat warga berpikir mencari komoditas bernilai tinggi. Saat itulah kakao mulai dikenal. Sedikit saja warga yang mencoba, tapi akhirnya menjadi primadona. Pada gilirannya, interaksi sosial yang merupakan ikutan dari bertani jagung pelan hilang—mulai terbentuk interaksi sosial baru menyertai tanaman kakao.

Komoditas kakao perlahan mengubah mental bertani warga Soga, dari komunal menjadi individual. Pola interaksi mereka dengan faktor produksi ikut berubah. Dari lahan sebagai sumber kehidupan menjadi lahan sebagai sumber keuntungan. Terbentuklah nilai baru sebagai bawaan dari komoditas kakao. Pada puncak produksi dan harganya, nilai baru ini mendapat kekuatannya untuk menjadi anutan ‘permanen’ warga.

Perubahan sosial ini, dalam konteks desa sebagai entitas yang dinamis, terjadi secara senyap. Perubahan itu tanpa rekayasa sadar dari aktor individu atau institusi yang menargetkan terbentuknya nilai baru itu, melainkan merupakan hasil diaklektika alami dari potensi-potensi warga dengan lingkungannya (baca lebih jelas Sosiologi Desa: Revolusi Senyap dan Tarian Kompleksitas [Darmawan Salman, Ininnawa: 2012]).

Perubahan ini, tentu harus menjadi perhatian serius dalam merancang sebuah gerakan sosial. Karena gerakan sosial bukanlah sebuah gerakan tandingan dari sebuah gerak natural dialektis dalam sebuah perubahan sosial, melainkan merupakan gerakan pelengkap. Minimal sebagai gerakan yang mengoreksi. Bagaimanapun, “revolusi senyap” merupakan perubahan sosial yang riil atau ‘aktual’. Sementara gerakan sosial, semisal bincang-bincang sambil minum kopi di beranda rumah Kepala Desa, di suatu waktu yang direncanakan, tentang bagaimana mamajukan perekonomian desa. Atau sebutlah gerakan sosial itu sebagai ‘potensi’ perubahan.

KERJA KOLEKTIF adalah kearifan universal. Wadah tempatnya mewujudlah yang memiliki karakter lokal, yang kemudian disebut budaya/kearifan lokal. Nah, selain dalam hal budaya kerja mengolah pertanian kearifan kerja kolektif mewujud, masih terdapat wadah lain tempat di mana kerja kolektif ‘membumi’, seperti dalam membangun rumah, memperbaiki sarana umum, serta pesta adat yang butuh bantuan tenaga dan dana.

Asumsinya, jika wadah-wadah tersebut masih eksis di Soga, maka kearifan kerja kolektif akan tetap ada. Warga punya ruang mengaktualisasikan potensi jiwa sosial, menstimulasi, memantapkan, dan mengajarkannya kepada generasi penerus. Pertanyaan yang tersisa adalah apa yang menjadi syarat keberadaan wadah tersebut? Mari telusuri dengan melihat, misalnya, dalam konteks sumber penghidupan warga Soga, yaitu pertanian.

Dulu teknik dan alat warga masih sederhana, sehingga bertani jagung menjadi pekerjaan berat. Untuk meringankan, warga sering bergotong royong menggarap lahan yang mereka sebut makkaleleng. Usia jagung hanya tiga bulan lebih menuntut siklus rutinitas yang juga pendek. Ini membuat petani akan kembali menghadapi beratnya pekerjaan menggarap lahan persiapan tanam setiap empat bulan. Jagung saat itu makanan pokok. Mereka menanamnya karena menyangkut kelangsungan hidup.

Dari itu kita bisa melihat bahwa dua hal utama yang mensyaratkan wadah semangat kerja kolektif di Soga membumi: pekerjaan itu berat dan merupakan kebutuhan paling mendasar. Jika hanya syarat pekerjaan yang berat dan bukan merupakan kebutuhan paling mendasar atau hanya untuk memperoleh kekayaan maka tidak ada kerja sama. Demikian pula sebaliknya.

Bandingkan dengan komoditas kakao. Rutinitas membudidayakannya tidak di semua tahapan. Pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan, sampai berbuah adalah aktivitas sekali saja. Masa awal tanam sampai masa berbuah (5 tahunan) adalah masa berat bagi petani. Selain itu, lahan untuk jagung (penyambung hidup) juga sudah tentu berkurang karena kakao tidak boleh diganggu oleh tanaman lain.

Jagung tidak punya tempat lagi di lahan dan ‘hati’ petani. Bertani tinggal memangkas, memupuk, dan memanen buah kakao. Wadah kerja kolektif bertani, makkaleleng, tidak dipakai lagi. Kerja berat dan sebagai penopang hidup yang menjadikan keberadaannya penting kini berbalik. Di samping itu, teknologi pertanian ciptaan Revolusi Hijau terbukti efektif. Pekerjaan menjadi relatif mudah. Pemupukan dan pembasmian pengganggu tanaman bisa diaplikasikan dengan mudah. Petani tidak perlu menunggu lama proses permentasi atau pelapukan bahan-bahan organik untuk bisa digunakan sebagai pupuk. Cukup beli pupuk—kadang malah dapat bantuan—lalu pakai. Hasilnya sekejap. Petani tidak perlu kerja keras membabat tanaman dan merondai makhluk-makhluk pengganggu. Cukup beli racun lalu basmi.

Sistem upah mulai marak. Seorang warga, Wak Hasse (50+) menyebut, “Naparakai alena sikola’e (kakao mengurus dirinya sendiri).” Maksud Wak Hasse itu adalah dana yang dihasilkan kakao cukup untuk membiayai keperluan hidupnya, di luar keuntungan perolehan petani.

Kerja rangkaian bertani berubah orientasi, dari ‘untuk hidup’ menjadi ‘demi uang’. Potensi persaingan ekonomi menguat. Individulitas dalam pertanian makin sengit, terutama ketika produksi dan harga memuncak.

Di berbagai dimensi hidup, warga cenderung melihat yang lain sebagai pesaing ketimbang teman berbagi hidup. Seorang pensiunan guru SD, Muhammad Nur (64), yang pernah mengorganisir masyarakat Pallawa, salah satu kampung di Soga, sering mengatakan, “Sieloreng maja tessieloreng mate (biarlah [ekonomi] engkau terpuruk, tapi tidak kubiarkan engkau mati).”

Lewat tulisan ini saya tidak mencoba ‘menyanjung’ dan ‘menyalahkan’ komoditas lain. Semata membincangkan apa dan bagaimana perilaku pelaku interaksi terhadapnya. Jika mungkin, merumuskan langkah-langkah menuju perubahan sosial ke arah yang lebih baik.
(Hasnulir Nur, warga Desa Soga, peneliti Payo-Payo)

No comments:

Post a Comment