Tuesday 27 January 2015

Hikayat dedaunan yang diangkut ke tenggara episode II

Bagian terakhir dari cerita tentang kejayaan ico (tembakau) Soppeng, berikut dengan jejak-jejak kejayaan usaha ini, termasuk di Makassar.
H. Saide bisa disebut seorang legenda. Ia mendirikan Perusahaan Rokok Adidie tahun 1962 di Makassar. Hingga di usianya yang kesembilan puluh, perusahaan ini terus berproduksi. Bahan baku Adidie ia dapatkan dari Cabbenge, desa kelahirannya. Masa jaya usahanya pada 1970 sampai awal 1990 menjadikan H. Saide salah seorang dari sedikit orang terkaya di Sulawesi Selatan. Tembakau buatannya dikenal rokok beraroma keras (sarru’, dalam bahasa Makassar) yang paling diminati oleh para perokok Sulawesi hingga Papua pada dua sampai tiga dekade lalu.

Saide muda memilih meninggalkan Cabbenge,
ketika tanah kelahirannya diduduki laskar DI/TII. Sebagian besar penduduk mengungsi ke kota yang berada di bawah kendali militer Siliwangi yang bertugas melawan pembangkangan politik Qahhar Mudzakkar. Saide sendiri memilih mengungsi ke Makassar pada tahun 1955 dan beberapa tahun kemudian mengembangkan usaha ico-nya, dengan pasokan tembakau dari desa-desa di Soppeng, khususnya Cabbenge.

H. Saide adalah putra ketiga dari pasangan H. Bocing dengan I Cue’. Saudaranya berjumlah 6 orang, tapi hanya dia yang menggeluti tembakau. Ia menikah dengan Hj. Sitti dan dikaruniai sembilan putra dan seorang putri. Setelah perjuangan DI/TII mengendur dengan tewasnya Qahhar Mudzakkar di Sungai Lasolo, Kolaka, keadaan kampung-kampung di Sulawesi Selatan lebih tenang. Banyak pengungsi kembali ke desa dan menanam tembakau. Memasuki tahun 1965, saat kondisi keamanan semakin kondusif di desa, usaha H. Saide mulai bertumbuh, dan semakin stabil hingga tahun 1980-an.

Kekayaan H. Saide dari hasil usaha tembakaunya terlihat jelas. Ia memiliki beberapa rumah besar baik di kampung halaman, di Makassar, maupun di Jakarta. Ia juga membeli sejumlah mobil mewah di masanya semisal Jeep Willis, VW, dan Chevrolet. Belum lagi alat-alat produksi untuk menopang proses produksi dan distribusi tembakaunya ke luar Makassar. Dengan jumlah pekerja tembakau berkisar 40 orang yang menghasilkan 500 timpo tembakau per hari, ia menjadi pengusaha rokok terbesar di Sulawesi Selatan. H. Saide bahkan pernah membangun usaha bisnis transportasi publik (bis) rute Soppeng – Makassar – Sinjai. Tapi usaha sampingan itu ia tinggalkan dan memilih berkonsentrasi pada usaha tembakau.

Beberapa pengusaha ico lain yang turut berkembang saat itu antara lain: H. Kasiran (Rokok Tempe), H. Santo (pabriknya bersebelahan dengan Pasar Terong, Makassar), H. Hafid (di Batua Raya, Makassar), H. Indare (Rokok Doanja, Cabbeng), H. Nasir (Rokok Ayam Telor, Cabbenge), dan, tentu saja, H. Palerei di Soga. Keluarga-keluarga ini dan umumnya keluarga lain yang terlibat langsung dalam produksi tembakau. Generasi kedua mereka menikmati kemakmuran yang tak pernah dirasakan generasi sebelumnya.

Salah seorang dari generasi kedua itu adalah Sudirman Nasir (41), putra H. Nasir. Ia kini dosen pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Di awal 1990-an, ia adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, sebelum melanjutkan studi master dan doktoral di Australia.

Sebagai anak pengusaha tembakau, biaya pendidikan tentu bukan masalah. Demikian pula ketika salah seorang putra H. Saide melanjutkan kuliah di Jakarta pada dasawarsa 1980-an, mudah saja baginya membeli sebuah rumah mewah di kawasan Menteng. Kabarnya, kini rumah milik H. Saide itu sudah bernilai belasan miliar rupiah.

Bagi Sudirman, masa jaya tembakau Bugis memang telah lewat. Sebagian yang bertahan dan tetap hidup makmur sekarang bisa melakukannya karena bertindak antisipatif. Maksudnya, selain berdagang tembakau, sebagian modal mereka alihkan untuk membeli tanah sawah dan kebun, di Soppeng atau di luar Soppeng. Sudirman menyebut beberapa pengusaha tembakau yang masih bertahan karena sikap antisipatif mereka. Mereka adalah keluarga H. Indare’ (pengusaha rokok merek Doanja), keluarga H. Saing dari Mattirowalie dan keluarga H. Saide di Makassar. Sedangkan sebagian keluarga lain sedang menghadapi masalah generasi kedua, yakni generasi yang sekadar hidup foya-foya di saat masa jaya orangtua mereka.

Pada masa jaya itu, ketika ia masih berusia belasan, Sudirman melihat remaja-remaja dari keluarga tembakau di Cabbenge sudah terbuai oleh mobil-mobil mengkilap dan sepeda motor terbaru. Sehari-harinya mereka memamerkan mobil berikut asesorisnya dan maccewe’-cewe’ atau berpacaran saja. Jika ada keluaran mobil terbaru di Jakarta, pastinya tak lama akan tiba di Cabbenge.

“Aih, napabbangkerro’i tomatoanna (Wah, mereka membangkrutkan orangtua)!”keluh Sudirman dalam bahasa Bugis. “Deteriorating rapidly and now unemployed! (memburuk dengan cepat dan kini menganggur),” demikian simpul Sudirman, dalam bahasa Inggris, tentang generasi kedua dari keluarga pengusaha ico yang runtuh.

Runtuhnya usaha ico berbasis keluarga ini juga diperparah oleh ekspansi rokok dari Jawa, khususnya kretek dari Kudus. Dibandingkan dengan kretek, ico nyaris kalah dalam semua aspek. Mulai dari kemasan yang lebih baik (olahan mesin), aroma yang lebih bercita rasa (campuran cengkeh), manajemen usaha yang lebih profesional (usaha kretek sudah mulai pada abad ke-19 sejak ditemukan pertama kali oleh H. Jamhari dan dikembangkan oleh H. Nitisemito), dan tentu saja harga yang terjangkau dengan sisi kepraktisan yang jauh lebih memanjakan konsumen.

Di Makassar, hanya ‘Adidie’ milik H. Saide yang bertahan. Di usia sepuhnya, H. Saide bersama 6 pekerjanya hanya mampu memproduksi 300 timpo/minggu atau 1.200 timpo/bulan atau 14.400 timpo/tahun. Bandingkan pada masa jayanya dengan produksi mencapai 15.000 timpo/bulan dan 180.000 timpo/tahun. Jika dahulu pekerjanya mencapai 40 orang, kini tinggal 6 orang saja. Jika dulu distribusi tembakaunya ke Indonesia bagian timur, kini semakin menyempit di sebagian kecil area Sulawesi Tengah dan Selatan. Jika dulu konsumennya dari berbagai kalangan, kini tinggal sebagian petani dan nelayan saja yang mengisapnya. Jika dulu harga belinya menguntungkan pengusaha dan pedagang eceran, kini harganya jauh merosot.

Bagi H. Muhammad Nur, akhir dari usaha rokok Adidie tinggal menunggu waktu. Begitu H. Saide tutup usia, maka cerita seorang legenda rokok akan tamat.

***

Sore, setibanya di Terminal Daya Makassar, Heddang melanjutkan perjalanan menuju Jalan Tinumbu. Ia naik pete-pete menuju Pasar Sentral. Di ujung Jalan Tinumbu, ia berjalan menuju Pabrik Rokok Adidie. Di depan sebuah bangunan serupa rumah toko ia berdiri. Sejenak ia membaca papan nama di sudut kanan atas rumah ini. Tertulis di sana ‘Perusahaan Rokok Adidie’ berdiri sedjak 1962’. Ia maju beberapa langkah, mengetuk pintu dengan mantap untuk satu tujuan pasti, mengumpulkan modal untuk melanjutkan usaha tembakau Bugis di kolong rumah panggung yang ia tinggalkan tadi pagi.[]

(Ishak Salim, @isangkilang, peneliti AcSI [Active Society Institute] Komunitas Ininnawa)

No comments:

Post a Comment