Tuesday 27 January 2015

Hikayat dedaunan yang diangkut ke Tenggara episode I


Sebuah karya penelitian : Ini satu dari dua bagian cerita tentang ico, istilah Bugis untuk tembakau. Komoditas ini pernah menjadi primadona dan memunculkan banyak orang kaya terutama di daerah Soppeng dan sekitarnya.

La Heddang (60) memandangi rumah panggungnya di Desa Soga, Soppeng. Ia tampak diliputi kekhawatiran. Beberapa hari terakhir ia tak memproduksi ico, tembakau Bugis. Biasanya, di kolong rumah panggungnya, La Heddang mengolah tembakau kering, meracik ‘saus gula merah’, mencampur saus ke hasil rajangan tembakau, memasukkannya ke dalam timpo (wadah dari batang bambu) dan memanaskan campuran tersebut dalam oven khusus. Kali ini, ia tak punya cukup uang membiayai ongkos produksi. Khawatir pelanggan-pelanggan setianya tak memeroleh pasokan tembakau, ia memilih keluar desa.

Sudah bulat niatnya.
Ia akan menempuh seratusan kilometer menuju Makassar menemui Haji Saide, seorang pengusaha tembakau Bugis ternama sekampungnya, Soppeng. La Heddang ingin bekerja beberapa minggu atau bulan di pabrik tembakau Haji Saide di Jalan Tinumbu, Makassar. Bagi Heddang, tak ada pilihan lain selain menjual kepiawaian. Kini amat sulit mencari pinjaman uang kepada pihak lain di desanya—sesuatu yang dulu tidak begitu susah ia peroleh. Awal Mei 2011 lalu, ia datang ke kantor desa dan memohon pinjaman sedikit modal dari kas desa. Tapi, sayang sekali, Kepala Desa Soga belum bisa memenuhinya.

Heddang menyalami istrinya.
Ia menelusuri Jalan Dusun Tonronge yang sudah jauh berbeda keadaannya. Empat dekade lalu, desanya marak tanaman tembakau. Di mana-mana orang-orang desa menanam, merawat, memetik, merajang, dan menjemur tembakau. Anak-anak hingga orangtua menjadi bagian dari budaya tembakau. Kini mereka menjadi petani kakao. Salah satu perbedaan mencolok adalah tiadanya budaya situlung-tulung antar keluarga dan rumah tangga di desa ini. Jelas, bagi desa ini, budaya kakao lebih berwatak individualis dan budaya tembakau cenderung komunal. Kakao adalah komoditas ekspor, sementara tembakau Bugis hasil bumi yang lebih banyak dikonsumsi secara lokal.

La Heddang juga menanam tembakau masa itu. Ia membeli bibit lalu menanamnya di lahan khusus yang telah digemburkan bersama dengan kawan-kawan petaninya. Dengan lahan sehektar, mereka menanam 10.000 bibit selama dua-tiga hari. Mereka kemudian menutupi tanaman itu dengan berlembar daun enau selama 14 hari. Guna menghindari hama kalanrei yang dibawa oleh semut, ia menyemprotkan pestisida. La Heddang membutuhkan empat botol pestisida untuk sekali semprot (Rp 2.500/botol).

Setelah tumbuh pucuk daun kedua, ia akan memotong (iceleppiri) daun pertama dan membiarkan daun kedua melebar. Demikian pula pucuk-pucuk baru di dekat daun ia akan memotongnya hingga akhirnya terdapat delapan lembar daun dalam satu tanaman yang dijaga pertumbuhannya. Jika tanamannya sudah mencapai ketinggian 75 sampai 100 cm, ia menyemprotnya lagi setiap minggu selama dua bulan hingga daun tembakau siap petik.

Kaum perempuan desa lalu memetik daun tembakau. Mereka menyimpannya 4 hari sebelum dirajang, dijemur, dan digulung. Setelah itu, lahan akan ditanami tanaman sela, umumnya jagung sebagai makanan pokok petani atau membiarkan lahan istirahat tanpa penanaman.

Tiba giliran laki-laki bekerja. Mereka bertugasmerajang daun tembakau (makkire’ ico) menggunakan pisau khusus dan kattang (tempat perajangan setumpukan daun tembakau). Sementara yang menebar rajangan tembakau (mattale’ ico)di alas penjemuran (tabba atau jamba’) berukuran 80 cm kali 120 cm adalah kaum perempuan. Setelah rajangan tembakau siap dijemur, segera anak-anak mereka akan meraihnya dan membawanya ke luar kemudian menjemurnya di sepanjang jalan di depan rumah mereka.

Setelah dua hari terpanggang matahari, rajangan tembakau tadi akan kering dan anak-anak atau kalangan remaja akan menggulung daun-daun tembakau ini dari kedua sisi. Gulungan dari sisi kiri dan kanan bertemu tepat di bagian tengah gulungan. Gulungan ico dari setiap ta’ba’ akan ditumpuk hingga beberapa tumpukan. Inilah akhir kerja petani dan pekerja daun tembakau.

Setelah itu, para pekerja Haji Palerei, akan datang membeli seluruh gulungan tembakau itu dan memrosesnya menjadi Tembakau Bugis. Haji Palerei adalah pemasok tembakau untuk wilayah timur dan tenggara Sulawesi.

Ingatan La Heddang berhenti saat di kejauhan sana sebuah angkutan desa mendekat. Ia melambai menghentikan mobil itu. Ia menuju Takkalalla, kota kecamatan, tempatnya akan menumpang oto panter, angkutan umum antar kabupaten, menuju Makassar.

Di sepanjang jalan yang dilewatinya, La Heddang hanya melihat barisan pohon kakao berusia tua. Dari dusun satu ke dusun lain, dari desa satu ke desa lain. Tak satu batang pun tanaman tembakau—sebagaimana yang ia tangkap dalam kenangannya.

Tapi angannya belum tuntas. Sekali lagi ia bergerak ke masa silam. Di masa ketika ekonomi tembakau mengubah budaya hidup mereka. Sebuah budaya tanam baru yang perlahan-lahan membuat kakatua (cakkelle) dan ‘burung putih’ (putteng) tak betah lagi di desa. Ia masih ingat, kedua jenis burung yang memakan jagung dan kacang hijau itu mudah ditemui saat itu. Ketika tembakau menggulung dua tanaman itu, persediaan makanan kedua burung itu terputus dan akhirnya pergi, meninggalkan penduduk yang tengah mengelukan idola baru: ico.

Haji Palerei merupakan pemasok tembakau Bugis bagi perokok di wilayah timur dan tenggara Sulawesi. Padanyalah Heddang muda belajar memproses ico dan membantu distribusi rokok Haji Palerei ke Kolaka, Kendari, Buton, dan Raha (Sulawesi Tenggara). Para petani tembakau juga memasok daun ico untuk Haji Palerei.

Haji Palerei dengan 20 pegawainya, memproduksi seratus timpo tembakau Bugis sehari. Satu timpo berisi 20 gulungan tembakau kering. Dari setiap gulungan, seorang perokok tembakau dapat melinting hingga seratus batang.

Haji Palerei seorang pedagang inovatif. Kabarnya, dialah yang memulai mencampur ico dengan saus gula merah—yang saat itu masih diproduksi oleh banyak pembuat gula dari pohon aren—dan membakarnya di dalam timpo (batang bambu) yang dibuat di wanua (kampung) Soga pada era 1970-an. Sebelumnya, tembakau Bugis bentuknya gulungan tembakau kering.

Rute pengangkutan tembakau Bugis dari Soga ke Sulawesi bagian tenggara menggunakan patteke (angkutan kuda) ke Koppe, lalu dengan mobil ke Pelabuhan Bajoe, menyeberang dengan perahu lambo ke Kolaka dan mengarah ke Kendari dengan truk, kemudian menyeberang lagi dengan perahu lambo ke Pulau Muna, dan akhirnya sampai ke Bau-Bau, di Pulau Buton. Ketika komoditas tembakau mengalami kemunduran dan, setelahnya, saat tidak semua orang Soga punya lahan cukup untuk menanam kakao, mereka pun merantau ke Tenggara dengan membuka lahan baru. Sebagian mereka kini hidup berkeluarga di Kolaka.

Haji Palerei (80), kini menekuni komoditas kakao, menetap di Kabupaten Kolaka. Sebagai pedagang tembakau Bugis yang sukses, ia memiliki banyak alat produksi seperti truk, mobil Toyota pick-up dan lahan yang luas di beberapa tempat, seperti Wanua Soga maupun di desa-desa di Kolaka. Sejak tanaman tembakau memudar pada pertengahan 1980-an, tak ada seorang pun petani Soga menanam tembakau. Mereka kini menanam kakao sebagai sumber pendapatan ekonomi baru. Tapi La Heddang bertahan menekuni komoditas yang surut masa jayanya itu. Di desa lain, seperti Cabbenge, masih banyak petani menanamnya. Ia tak khawatir dengan pasokan daun ico.

Heddang kini di atas panter menuju Makassar. Empat atau lima jam kemudian ia akan menemui H. Saide dan menyampaikan maksudnya. (bersambung)

(Ishak Salim, @isangkilang, peneliti AcSI [Active Society Intitute] — Komunitas Ininnawa)



Sumber : http://makassarnolkm.com

No comments:

Post a Comment